Senin, 20 Februari 2023

Keperawatan Gerontik - Konsep Lanjut Usia (Lansia)


1.    Konsep Lanjut Usia (Lansia)

a.       Pengertian lansia

        Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008). Lansia dapat dikatakan usia emas karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, maka orang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia (Maryam dkk, 2008).

 

b.      Faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua

Menurut Siti Bandiyah (2009) dalam Abdul muhith dan Sandu (2016),  penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Penuaan yang terjadi sesuai dengan kronologis usia. Faktor yang mempengaruhi yaitu:

1)      Hereditas atau genetik

        Kematian sel merupakan seluruh program kehidupan yang dikaitkan dengan peran DNA yang penting dalam mekanisme pengendalian fungsi sel. Secara genetik, perempuan ditentukan oleh sepasang kromosom X sedangkan laki-laki oleh  satu kromosom X . Kromosom X ini ternyata membawa unsur kehidupan sehingga perempuan berumur lebih panjang dari pada laki-laki.

2)      Nutrisi atau makanan

Berlebihan atau kekurangan menggangu keseimbangan reaksi kekebalan.

3)      Status kesehatan

Penyakit yang selama ini selalu dikaitkan dengan proses penuaan, sebenarnya bukan disebabkan oleh proses menuanya sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor luar yang merugikan yang berlangsung tetap dan berkepanjangan.

4)      Pengalaman hidup

a)      Paparan sinar matahari : kulit yang tak terlindung sinar matahari akan mudah ternoda oleh flek, kerutan dan menjadi kusam

b)      Kurang olahraga: olahraga membantu pembentukan otot dan menyebabkan lancarnya sirkulasi darah

c)      Mengkonsumsi alkohol: alkohol dapat memperbesar pembuluh darah kecil pada kulit dan menyebabkan peningkatan aliran darah dekat permukaan kulit.

5)      Lingkungan

Proses menua secara biologik berlangsung secara alami dan tidak dapat dihindari, tetapi seharusnya dapat tetap dipertahankan dalam status sehat.

6)      Stres

Tekanan kehidupan sehari-hari dalam lingkungan rumah, pekrjaan, ataupun masyarakat yang tercermin dalam bentuk gaya hidup akan berpengaruh terhadap proses penuaan. 

c.        Proses menua

        Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak awal permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamih, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2015).

Menurut WHO dan Undang-Undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, akan tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Padila, 2013).

d.      Batasan Lanjut Usia

Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60-65 tahun. Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut :

1)      Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada empat tahapan yaitu:

a)      Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun

b)      Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun,

c)      Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun,

d)      Usia sangat tua (very old) usia >90 tahun.

2)      Menurut Dra. Ny. Jos Masdani, psikolog dari Universitas Indonesia, kedewasaan dibagi empat bagian :

a)      Fase iuventus usia 25-40 tahun,

b)      Fase verilitas usia 40-50 tahun,

c)      Fase prasenium usia 55-65 tahun,

d)      Fase senium usia 65 tahun hingga tutup usia.

3)      Menurut Hurlock (1979), perbedaan lanjut usia ada dua tahap:

a)      Early old age (usia 60-70 tahun),

b)      Advanced old age (usia >70 tahun).

        Di Indonesia, batasan mengenai lanjut usia adalah 60 tahun ke atas, tedapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2. Menurut undang-undang tersebut lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Kushariyadi.2010). 

e.       Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia

        Perubahan-perubahan fisik pada lansia menurut Maryam (2008):

1)      Sel

        Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun, dan cairan intraseluler menurun.

2)      Kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunnya kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat.

3)      Respirasi

Otot-otot pernafasan kekuatannya menurun dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus.

4)      Persarafan

Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress.Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan kurangnya respon motorik dan reflek.

5)      Muskuloskeletal

Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh, bungkuk, persendian membesar dan menjadi kaku, kram, tremor, dan tendon mengerut dan mengalami sklerosis.

6)      Gastrointestinal

Esophagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun dan peristaltik menurun sehingga daya absorbsi juga ikut menurun. Ukuran lambung mengecil serta fungsi organ aksesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya produksi hormone dan enzim pencernaan.

7)      Pendengaran

Membrane timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran. Tulang-tulang pendengaran mengalami kekakuan.

8)      Penglihatan

Respon terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi menurun, lapang pandang menurun, dan katarak.

9)      Kulit

Keriput serta kulit kepala dan rambut menipis. Rambut dalam hidung dan telinga menebal. Elastisitas menurun, vaskularisasi menurun, rambut memutih (uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh, serta kuku kaki tumbuh berlebihan seperti tanduk (Maryam, 2008). 



DAFTAR PUSTAKA

 

Heningsih. (2014). Gambaran Tingkat Ansietas Pada Lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Kasih Surakarta. http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id . Di akses 15 November 2017

Kowalski. (2010). Hipertensi Pada Lanjut Usia. Jakarta: Image Press

Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika

Maryam, S.  dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika

Muhith, A. & Sandu, S. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Andi

Nugroho, W. (2015). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC

Ode, S. (2012). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika

Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Yogyakarta: Nuha Medika

Putri, D. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pada Lansia di Kelurahan Lembah Sari Rumbai Pesisir. Universitas Riau. Di akses: http://repository.unri.ac.id

Sri, A. dkk. (2014). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Motivasi Lansia Hipertensi Dalam Memeriksakan Tekanan Darahnya. Universitas Riau. JOM PSIK Vol 1 No 2, Oktober 2014. https://media.neliti.com. Diakses 30 Oktober 2017

Tamher, S. & Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Tedjasukmana, P. (2012). Tata Laksana Hipertensi. Jakarta: Departemen Kardiologi, RS Premier Jatinegara dan RS Graha Kedoya

Tirtayasa, G. (2008). Hubungan Kebiasaan Hidup dan Dukungan Keluarga Lansia Dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Rendang Karang Asem Bali.  http://lib.unair.ac.id . Di akses 11 November 2017



Keperawatan KMB - Konsep Hipertensi

 

1.      Konsep hipertensi

a.       Pengertian hipertensi

        Jean Elizabeth D mengemukakan dalam Joyce & Jane (2014), bahwa hipertensi arterial yang disebut juga dengan tekanan darah tinggi, didefinisikan sebagai elevasi persisten dari tekanan darah sistolik (TDS) pada level 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolik (TDD) pada level 90 mmHg atau lebih.  Pengertian hipertensi banyak dikemukakan oleh para ahli. WHO mengemukakan bahwa hipertensi terjadi bila tekanan darah di atas 160/95 mmhg, sementara itu Smelttzer dan Bare dalam Ode (2012) mengemukakan bahwa hipertensi merupakan tekanan darah persisten atau terus menerus sehingga melebihi batas normal dimana tekanan sistolik di atas 140 mmhg dan tekanan diastole di atas 90 mmhg.

 Tabel  Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa  (Kowalski, 2010)

No

Kategori

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

1.

Normal

< 130

< 85

2.

High Normal

130-139

85-89

3.

Hipertensi

 

 

 

Grade 1 (ringan)

140-159

90-99

 

Grade 2 (sedang)

160-179

100-109

 

Grade 3 (berat)

180-209

110-119

 

Grade 4 (sangat berat)

>210

>120

  b.      Mekanisme terjadinya hipertensi

        Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara yaitu jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dari biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklarierosis.

Cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi vasokontriksi yaitu arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal tidak dapat membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat sehingga tekanan darah juga meningkat (Triyanto, 2014). Sebaliknya, jika aktivitas memompa jantung berkurang arteri mengalami pelebaran, banyak cairan keluar dari sirkulasi, maka tekanan darah akan menurun. Penyesuaian terhadap faktor-faktor tersebut dilaksanakan oleh perubahan didalam fungsi ginjal dan sistem saraf otonom (bagian dari sistem saraf yang mengatur berbagai fungsi tubuh secara otomatis). Perubahan fungsi ginjal, ginjal mengendalikan tekanan darah melalui beberapa cara: jika tekanan darah meningkat, ginjal akan menambah pengeluaran garam dan air yang akan menyebabkan berkurangnya volume darah dan mengembalikan tekanan darah ke normal.

         Jika tekanan darah menurun, ginjal akan mengurangi pembuangan garam dan air volume darah bertambah dan tekanan darah kembali ke normal. Ginjal juga bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang disebut renin, yang memicu pembentukkan hormon angiotensin, yang akan selanjutnya memicu pelepasan hormon aldesteron. Ginjal merupakan organ penting dalam mengendalikan tekanan darah, karena itu berbagai penyakit dan kelainan pada ginjal dapat menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi. Misalnya penyempitan arteri yang menuju ke salah satu ginjal (stenosis arteri renalis) bisa menyebabkan hipertensi. Peradangan dan cidera pada salah satu atau kedua ginjal juga bisa menyebabkan naiknya tekanan darah.

Sistem saraf simpatis merupakan bagian dari sistem saraf otonom yang untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah selama respon fight-or-fight (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman dari luar), meningkatkan kecepatan dan kekuatan denyut jantung dan juga mempersempit sebagian besar arteriola tetapi memperlebar arteriola di daerah tertentu (misalnya otot rangka yang memerlukan pasokan darah yang lebih banyak), mengurangi pembuangan air dan garam oleh ginjal, sehingga akan meningkatkan volume darah dalam tubuh, melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin), yang merangsang jantung dan pembuluh darah. Faktor stress merupakan satu faktor pencetus terjadinya peningkatan tekanan darah dengan proses pelepasan hormon epinefrin dan norepinefrin (Triyanto, 2014).

c.       Faktor-faktor resiko yang tidak dapat diubah

1)      Riwayat keluarga

        Hipertensi dianggap poligenik dan multifaktorial yaitu pada seseorang dengan riwayat hipertensi keluarga, beberapa gen mungkin berinteraksi dengan yang lainnya dan juga lingkungan yang dapat menyebabkan tekanan darah naik dari waktu ke waktu. Kecenderungan genetis yang membuat keluarga tertentu lebih rentan terhadap hipertensi mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar natriun intraseluler dan penurunan rasio lasium-natrium, yang lebih sering ditemukan pada orang berkulit hitam. Klien dengan orang tua yang memiliki hipertensi berada pada resiko yang lebih tinggi pada usia muda.

2)      Usia

Hipertensi primer biasanya muncul antara usia 30-50 tahun. Peristiwa hipertensi meningkat dengan usia 50-60% klien yang berumur lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg.

3)      Jenis kelamin

Pada keseluruhan insiden, hipertensi lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita sampai kira-kira usia 55 tahun. Resiko pada pria dan wanita hampir sama antara usia 55 sampai 74 tahun, kemudian setelah usia 74 tahun wanita beresiko lebih besar.

4)      Etnis

Statistik mortalitas mengindikasikan bahwa angka kematian pada wanita berkulit putih dewasa dengan hipertensi lebih rendah pada angka 4,7%, pria berkulit putih 6,3%, pria berkulit hitam 22,5% dan angka kematian tertinggi pada wanita berkulit hitam pada angka 29,3%. Alasan peningkatan prevalensi ini belum jelas, akan tetapi peningkatannya dikaitkan dengan kadar renin yang lebih rendah, sensitivitas yang lebih besar terhadap vasopresin, tingginya asupan garam, dan tingginya stres lingkungan (Joyce dan Jane, 2014).

d.      Faktor-faktor resiko yang dapat diubah

1)      Diabetes

        Ketika seorang klien diabetes didiagnosis dengan hipertensi, keputusan pengobatan dan perawatan tindak lanjut harus benar-benar individual dan agresif.

2)      Stres

Stres meningkatkan resistansi vaskular perifer dan curah jantung serta menstimulasi aktivitas sistem saraf simpatis. Stresor bisa banyak hal, mulai dari suara, infeksi, peradangan, nyeri, berkurangnya suplai oksigen, panas, dingin, trauma, pengerahan tenaga berkepanjangan, respons pada peristiwa kehidupan, obesitas, usia tua, obat-obatan, penyakit pembedahan dan pengobatan medis dapat memicu respon stres.

3)      Obesitas

Obesitas, terutama pada tubuh bagian atas, dengan meningkatnya jumlah lemak sekitar diafragma, pinggang, dan perut, dihubungan dengan pengembangan hipertensi.

4)      Nutrisi

Komsumsi natrium bisa menjadi faktor penting dalam perkembangan hipertensi esensial. Paling tidak 40% dari klien yang akhirnya terkena hipertensi akan sensitif terhadap garam dan kelebihan garam menjadi penyebab pencetus hipertensi. Diet tinggi garam mungkin menyebabkan pelepasan hormon natriuretik yang berlebihan, yang mungkin secara tidak langsung meningkatkan tekanan darah. Muatan natrium juga menstimulasi mekanisme vasopresor di dalam sistem saraf pusat (SSP).

5)      Penyalahgunaan obat

Merokok sigaret, mengkonsumsi banyak alkohol, dan beberapa penggunaan obat terlarang merupakan faktor-faktor resiko hipertensi (Joyce dan Jane, 2014).



DAFTAR PUSTAKA

 

Arikunto. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Chourmain. (2008). Acuan Normatif Penelitian Untuk Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi. Jakarta: Al- Haramain Publising House

Cornelius, K. dkk. (2012). At a Glance Psikiatri edisi 4. Jakarta: Erlangga

Depkes, RI. (2017). Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. www.depkes.go.id Di akses 11 Agustus 2017

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. (2014). Profil Perkembangan Kependudukan Kota Bandung 2014

Friedman, M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori Dan Praktek. Jakarta: EGC

                    . (2014). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC

Harmoko. (2012). Asuhan Keperawatan Keluarga. Semarang: Pustaka Pelajar

Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta: FKUI

Heningsih. (2014). Gambaran Tingkat Ansietas Pada Lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Kasih Surakarta. http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id . Di akses 15 November 2017

Ilham, M. (2016). Hubungan antara Dukungan Keluarga Dengan Tingkat kecemasan Pada Pasien Hipertensi di Ruang Rawat Inap RSUD kota Surakarta. STIKES Kusuma Husada. http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id. Di akses 9 November 2017

Johnston, J.H. dkk. (2011). The impact of social Support on Perceived control among older adult: Building block of empowerment. Journal of extension 49(5): 1-8 article number 5RIB4

Joyce, M. & Jane, H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Singapura: Elsevier

Kaplan, H.I, dkk. (2010). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Tangerang: Binarupa Aksara

Kowalski. (2010). Hipertensi Pada Lanjut Usia. Jakarta: Image Press

Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika

Kusumawardani, A. (2014). Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kualitas Hidup Lansia Penderita Hipertensi. UNPAD: Jatinangor. Di akses: http://repository.unpad.ac.id

Leily, B. (2014). Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Mahasiswa Kedokteran Laki-laki dan Perempuan Angkatan 2011 FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dalam Menghadapi Ujian OSCE 2014. http://repository.uinjkt.ac.id . Di akses 17 November 2017

Maryam, S.  dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika

Muhith, A. & Sandu, S. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Andi

Notoatmodjo. (2007). Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta

                    . (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

                    . (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

                    . (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Novi, F. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Mekanisme Koping Lansia Terhadap Penyakit Hipertensi Di Kelurahan Sukaluyu Wilayah Kerja Puskesmas Neglasari Bandung. STIK Immanuel

Nugroho, W. (2015). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC

Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Ode, S. (2012). Asuhan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha Medika

Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Yogyakarta: Nuha Medika

Putri, D. (2013). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pada Lansia di Kelurahan Lembah Sari Rumbai Pesisir. Universitas Riau. Di akses: http://repository.unri.ac.id

Quen, M. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga Terhadap Tindakan Ibu Dalam Pencegahan ISPA Pada Balita Di Kelurahan Ciseureuh Wilayah Kerja Puskesmas Moch.Ramdhan Bandung. STIK Immanuel

Riset kesehatan Dasar (RIKESDAS). (2013). Kementerian Kesehatan. http://www.depkes.go.id. Diakses 5 Agustus 2017

Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sri, A. dkk. (2014). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Motivasi Lansia Hipertensi Dalam Memeriksakan Tekanan Darahnya. Universitas Riau. JOM PSIK Vol 1 No 2, Oktober 2014. https://media.neliti.com. Diakses 30 Oktober 2017

Stuart. (2013). Prinsip dan Praktek Keperawatan Kesehatan Jiwa. Singapore: Elsevier

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

                    .(2017). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Tamher, S. & Noorkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Tedjasukmana, P. (2012). Tata Laksana Hipertensi. Jakarta: Departemen Kardiologi, RS Premier Jatinegara dan RS Graha Kedoya

Tirtayasa, G. (2008). Hubungan Kebiasaan Hidup dan Dukungan Keluarga Lansia Dengan Kejadian Hipertensi di Puskesmas Rendang Karang Asem Bali.  http://lib.unair.ac.id . Di akses 11 November 2017

Triyanto, E. (2014). Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi Secra Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu

Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika